Pengajuan izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA) menunjukkan
tren penurunan bila dibandingkan dengan beberapa waktu lalu. Penerapan
Masyarakat Ekonomi Asean tidak turut memantik lonjakan tenaga kerja
asing selama awal 2016.
“Selama ini MEA disalahpahami dan dipenuhi mitos seolah-olah dengan
adanya MEA maka semua menjadi terbuka. Faktanya dari data kami trennya
malah turun bila dibandingkan dengan tahun-tahun lalu,” kata Menteri
Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri di Jakarta, Kamis (10 Maret 2016).
Berdasarkan data dari Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja
Asing (PPTKA) Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak Januari-Februari
ini jumlah tenaga kerja asing yang sudah mengantongi izin sebanyak 5.339
orang atau menurun 55,9% dari periode yang sama tahun lalu sebesar
12.134 orang.
Adapun data TKA sebanyak 5.339 orang itu terdiri dari periode bulan
Januari sebanyak 2.067 orang untuk TKA yang bekerja lebih dari 6 bulan
dan 516 orang untuk TKA yang bekerja di bawah 6 bulan, Sedangkan bulan
Februari sebanyak 2.303 orang (lebih dari 6 bulan) dan 453 orang
(dibawah 6 bulan).
Sebelumnya Badan Pusat Statistik pada awal Maret lalu menyebutkan,
selama Januari 2016 WNA yang berkunjung ke Indonesia kurang dari setahun
sebanyak 37.992 orang, di antaranya 25.238 yang bertujuan bekerja paruh
waktu.
“Kalau yang disampaikan BPS dengan menyebut ada kenaikan 74% itu
adalah intensitas kunjungan jadi bukan orangnya. Kenaikan ini tidak
mencerminkan jumlah TKA yang bekerja di Indonesia,” tuturnya.
Lebih lanjut Hanif menyebutkan jumlah IMTA selama tiga tahun terakhir
yang tak lebih dari 70.000 per tahun tidak signifikan bila dibandingkan
dengan tenaga kerja Indonesia yang mencapai ratusan ribu hingga jutaan
di negara tertentu seperti Singapura, Hongkong dan Malaysia.
Heri Sudarmanto, Direktur Jenderal Ditjen Pembinaan, Penempatan, dan
Perluasan Kesempatan Kerja Kemenaker, mengatakan kecilnya angka IMTA
antara lain disebabkan faktor persyaratan yang cukup ketat.
Orang asing yang ingin bekerja di dalam negeri wajib memenuhi
kompetensi. Pengajuan izin juga dilakukan dengan sistem sponsorship,
yakni calon TKA harus direkomendasikan oleh perusahaan pemberi kerja.
“Nah sponsornya di sini masih tidak membutuhkan, selain itu lapangan
kerja di negara-negara ASEAN lain juga belum dibuka. Kalau mereka buka,
coba dipikir berapa potensi tenaga kerja kita yang akan ke luar negeri,
tentunya negara lain juga khawatir,” tuturnya.
TAK PERLU DIKHAWATIRKAN
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani
tidak heran dengan tren penurunan TKA tersebut. Dia mengatakan sejak
awal MEA tidak perlu dikhawatirkan. Alih-alih membuat Indonesia disebut
TKA, jutru tenaga kerja Indonesia yang akan berpeluang memasuki pasar
Asean.
Dari kacamata pelaku usaha, menurut Hariyadi, jumlah TKA lebih
sedikit karena preferensi pelaku usaha yang masih lebih memilih merekrut
tenaga kerja dalam negeri.
“Kalau expatriat kan lebih mahal makanya mayoritas akan gunakan
karyawan dalam negeri. Selain itu pemberi kerja juga lebih ketat dalam
menyeleksi TKA dan tidak mau sembarangan. Alasan lainnya karena
kompetensi kita untuk level supervisor ke atas juga tidak kalah bagus,”
ujarnya kepada Bisnis.
Mengenai serbuan tenaga kerja dari Cina yang ramai dibicarakan
beberapa waktu lalu, lanjut Hariyadi, bersifat sementara. Hal ini
lantaran sejumlah proyek dari negara tersebut seperti di bidang tambang,
pembangunan pembangkit listrik dan smelter.
https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/03/11/090752904/tren-izin-mempekerjakan-tenaga-kerja-asing-menurun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar